Iklim Berganti, Biopori Menjadi Solusi
Dampak Perubahan Iklim, Jakarta Butuh Lebih Banyak Biopori
Oleh: Nike Hermawan
Kutipan lirik lagu Koes Plus di atas menggambarkan betapa kaya dan indahnya negeri Indonesia ini bila dijaga dan dilestarikan serta dimanfaatkan dengan baik. Begitu melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri ini. Bahkan negeri ini pernah dijuluki sebagai Zamrud Khatulistiwa karena keindahannya, serta sempat juga dijuluki sebagai paru-paru dunia karena besarnya manfaat yang diberikan hutan-hutan di Indonesia terhadap kelestarian udara di dunia.
Namun apa yang terjadi saat ini adalah sebuah paradoks yang berbanding terbalik dengan apa yang pernah dirasakan para generasi pendahulu kita tersebut. Alam Indonesia semakin lama semakin rusak karena perbuatan kita sendiri. Penebangan dan penggundulan hutan terus terjadi tanpa memperhatikan dampak terhadap kelangsungan ekosistem di sekitarnya. Pembukaan lahan hingga pembakaran hutan masih sering terjadi hingga asap yang dihasilkan sampai dirasakan ke negara tetangga. Sungguh ironis memang, bahkan salah satu negara maju di eropa pernah memberikan sejumlah bantuan kepada Indonesia agar Indonesia berkomitmen terhadap pelestarian hutan-hutan yang dimilikinya.
Bumi sudah tidak lagi ramah kepada kita seperti dulu. Pemanasan global akibat perbuatan kita menyebabkan suhu bumi meningkat. Polusi yang terjadi serta emisi karbon yang dihasilkan dalam jumlah besar tidak mampu terurai dan pada akhirnya menyebabkan efek rumah kaca di muka bumi. Sebagai akibatnya, musim yang dulu datang dan pergi dengan teratur kini tak lagi seperti itu. Lihat saja, waktu yang seharusnya musim kemarau menjadi musim hujan, dan yang seharusnya musim hujan berubah menjadi kemarau. Saat sekarang ini kita sering mendapati hujan lebat di musim kemarau dan panas terik di musim hujan. Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim di setiap bagian bumi termasuk Indonesia.
Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia tidak mampu menahan laju modernisasi yang ada tanpa memperhatikan aspek lingkungan di dalamnya. Jakarta melupakan pentingnya ruang terbuka hijau yang sangat dibutuhkan setiap kota untuk menjaga eksistensinya. Saat ini Jakarta sendiri baru memiliki sekitar 9,6% (sembilan koma enam persen) pada tahun 2010 dari minimal 30% (tiga puluh persen) ruang terbuka hijau yang ditentukan dalam Undang-undang. Alhasil ketika musim hujan tiba sekitar bulan Desember dimana jumlah air hujan melimpah, Jakarta tidak mampu menyerap jumlah air hujan yang turun dalam waktu yang cepat sehingga menyebabkan banjir di hampir semua wilayah Jakarta. Selain dikarenakan sistem drainase yang buruk dan tumpukan sampah yang mengganggu aliran air, hal tersebut juga dikarenakan ruang resapan air yang ada sudah sangat mengkhawatirkan baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Hijaunya pepohonan yang dulu mudah dijumpai, sekarang sudah tergantikan oleh bangunan perkotaan.
Laju pertambahan jumlah penduduk di Jakarta sudah sangat mengkhawatirkan. Jakarta yang semakin padat dengan jumlah penduduk yang ada tidak diimbangi dengan jumlah lahan yang semakin terbatas. Kawasan permukiman padat penduduk pun menjadi sebuah realita yang sangat mengkhawatirkan dan tidak dapat lepas dari kota Jakarta. Bagaimana masyarakat tersebut bisa memperhatikan aspek lingkungan di sekitar mereka jika untuk hidup di Jakarta saja ruang gerak mereka sangat terbatas satu sama lain. Di samping itu pembangunan gedung-gedung bertingkat untuk menunjukkan eksistensi Jakarta sebagai ibukota negara terus dilanjutkan. Tanah-tanah yang semula berfungsi sebagai area resapan air kini ditutupi oleh lapisan aspal dan beton yang sulit menyerap air. Hal ini terus terjadi ditengah semakin meningkatnya dampak perubahan iklim yang ada.
Dampak perubahan iklim yang terjadi semakin nyata dirasakan oleh masyarakat. Sejak bangku Sekolah Dasar kita telah mempelajari bahwa Indonesia adalah negara tropis, kita mengenal dua musim dalam setahun yaitu musim kemarau dan hujan. Bulan September hingga Maret biasanya kita mengalami musim hujan sedangkan pada bulan April hingga Agustus biasanya kita dilanda musim kemarau. Dengan adanya perubahan iklim tidak jarang terjadi hujan lebat di musim kemarau dan panas terik di musim hujan. Pada Bulan September ini saja yang seharusnya sudah memasuki musim hujan ternyata masih juga belum ada tanda-tanda memasuki musim hujan. Kita tidak hanya dihadapkan pada masalah kemunduran musim hujan atau kemarau tetapi juga masalah ketidakteraturan musim hujan atau kemarau. Hal tersebut berpengaruh terhadap cadangan air yang bisa diserap oleh tanah. Beberapa daerah mengalami kekeringan yang berkepanjangan sedangkan beberapa daerah yang lain dihadapkan dengan bencana alam banjir dan tanah longsor yang biasanya diikuti terjangkitnya banyak penyakit akibat banyaknya genangan air yang tidak kunjung surut. Biasanya di musim kemarau, masyarakat sulit sekali mendapatkan air karena air persediaan di bawah tanah semakin sedikit karena sedikitnya cadangan air yang mampu terserap, sedangkan di musim hujan masyarakat sepertinya kebingungan mengatasi jumlah air yang sangat melimpah hingga terjadi banjir dimana-mana. Pada musim kemarau, masalah kekeringan akan membawa eksternalitas yang saling berhubungan dan akan membawa kesengsaraan di dalam masyarakat. Kekeringan yang berkepanjangan akan membawa krisis air bersih, para petani gagal panen, kekurangan pangan, dan kelaparan.
Sebuah keprihatinan besar bagi kita semua khususnya sebagai generasi muda terhadap dampak perubahan iklim yang terjadi di sekitar kita. Pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasi musim kemarau berkepanjangan, misalnya masalah krisis air bersih maka akan diatasi dengan membuat hujan buatan, penyediaan air bersih, kekurangan pangan akan diatasi dengan melakukan penambahan alokasi pangan di daerah yang terjadi krisis pangan tersebut. Namun, ada sebuah pertanyaan yang sedikit mengganjal yakni mengapa kita tidak bisa mencegahnya sebelum berbagai masalah itu terjadi. Kita seharusnya bukan lagi berupaya untuk mengatasi berbagai masalah yang biasanya terjadi bila musim kemarau berkepanjangan tiba karena kita bersama sudah mengetahui bahwa musim kemarau atau musim hujan pasti akan datang. Sebelum berbagai masalah itu datang alangkah baiknya bila kita bisa mencegahnya agar kejadian tersebut tidak terus terulang setiap tahunnya.
Manusia sebagai makhluk hidup pastinya membutuhkan sebuah tempat tinggal untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Dengan berbagai masalah yang ditimbulkan akibat perubahan iklim yang terjadi, maka perumahan dan kawasan permukiman ramah lingkungan mulak diperlukan guna mencegah dampak perubahan iklim tersebut. Idealnya terdapat pembagian antara kawasan perumahan dengan kawasan lain, misalnya kawasan industri. Di samping itu juga harus diperhatikan bahwa setiap kawasan harus memiliki taman sebagai ruang terbuka hijau yang cukup untuk menampung resapan air hujan. Di tambah pembuatan sistem drainase yang terintegrasi dan dipelihara dengan baik agar aliran air tidak terganggu. Namun bagaimana dengan Jakarta yang sistem tata ruang kotanya sudah tidak lagi diperhatikan dengan baik. Setiap pengembang kawasan perumahan memiliki konsep dan tata ruang perumahannya masing-masing tanpa terintegrasi satu sama lain. Bagaimana juga dengan kawasan permukiman padat penduduk yang sudah semakin kumuh tanpa memperhatikan aspek lingkungan disekitarnya. Tidak mungkin Jakarta yang sudah sangat padat ini ditata ulang secara keseluruhan hingga mampu menciptakan kawasan permukiman yang ramah lingkungan secara terintegrasi satu sama lain.
Bukanlah generasi muda bangsa ini jika kita hanya mengeluh terhadap kondisi Jakarta yang ada tanpa berbuat suatu tindakan nyata. Biarlah masalah tata ruang kota menjadi masalah pemerintah. Lakukanlah peran kita di masyarakat untuk menjaga lingkungan perumahan kita dulu, dan salah satunya melalui pembuatan lubang biopori. Pembuatan lubang biopori di pekarangan rumah adalah sebuah hal kecil yang dapat dilakukan dengan mudah, namun dapat memberikan manfaat yang luar biasa apabila dilakukan konsisten dan semangat kebersamaan menjaga lingkungan. Lubang biopori dapat dibuat ditanah dengan diameter 10 sampai dengan 15 cm dan kedalaman sekitar 100 sampai dengan 120 cm. Jika terdapat lahan yang lebih luas, kita juga dapat membuat sumur resapan yang berukuran lebih besar yang berfungsi untuk menampung air hujan dan mengurangi pembuangan air ke sungai secara langsung. Tidak akan sia-sia jika kita membuat lubang biopori karena lubang tersebut akan memberikan banyak manfaat terhadap kelestarian lingkungan di sekitar kita. Bayangkan jika bila setiap rumah, kantor dan/atau tiap bangunan di Jakarta memiliki biopori, berarti jumlah air yang segera masuk ke tanah tentu akan semakin banyak pula sehingga dapat mencegah terjadinya banjir. Sampah-sampah organik rumah tangga pun dapat kita buang ke dalam lubang biopori ini yang nantinya akan menjadi makanan bagi mikroorganisme di dalam tanah. Mikroorganisme tersebut akan mengubah sampah organik tersebut menjadi kompos yang merupakan pupuk bagi tanaman di sekitarnya. Kualitas dan kuantitas air yang terserap pun menjadi semakin meningkat dengan adanya lubang biopori tersebut.
Memang tidak mudah untuk membuat bumi kita kembali seperti sedia kala. Bukanlah sesuatu yang mustahil apabila kita mempunyai tekad yang kuat bersama untuk menjaga kelestarian lingkungan, sekalipun diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk mewujudkannya. Besar harapan agar anak cucu masih dapat menikmati indahnya alam indonesia yang sungguh luar biasa. Tiada ada jalan lain bagi kita semua untuk bergerak menyelamatkan bumi ini mengambil sebuah langkah bersama. Biarlah setiap individu menyadari akan perannya masing-masing terhadap pelestarian lingkungan. Biarlah pemerintah memikirkan dan mengeksekusi cara-cara terbaik dari sudut pandang makro terhadap pelestarian lingkungan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Marilah kita sebagai individu di masyarakat mulai membuat lubang-lubang biopori di pekarangan rumah atau dimanapun tempatnya yang cocok untuk area resapan air. Ajaklah teman, kerabat, masyarakat sekitar untuk tergerak langsung dalam aksi menyelamatkan lingkungan ini. Kita tidak akan berhasil berbuat sesuatu yang yang lebih besar jika tidak disertai dengan kemenangan-kemenangan kecil. This is simple, mulailah dari hal-hal yang kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi yang mencintai dan menjaga bumi dan lingkungan kita ini. Go green! (19/09/11)
Baca selengkapnya »