-->
Tata Cara Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa yang Meliputi Beberapa Masa Pajak

Tata Cara Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa yang Meliputi Beberapa Masa Pajak


Ø Wajib Pajak yang diperbolehkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa yang meliputi beberapa Masa Pajak sekaligus:
1. Wajib Pajak usaha kecil yang menjalankan kegiatan usaha atau melakukan pekerjaan bebas:
a. Orang Pribadi
· Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
· menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
b. Badan
· modal Wajib Pajak 100% (seratus persen) dimili.ki oleh Warga Negara Indonesia
· menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah).
2. Wajib Pajak di daerah tertentu
Wajib Pajak yang tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usahanya berlokasi di daerah tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ø Cara pelaporan SPT Masa yang meliputi beberapa masa pajak:
1. Surat pemberitahuan secara tertulis harus disampaikan oleh Wajib Pajak paling lambat 2 (dua) bulan sebelum dimulainya masa pajak pertama yang oleh Wajib Pajak akan disampaikan dalam Surat Pemberitahuan Masa meliputi beberapa masa pajak sekaligus.
2. Apabila berdasarkan penelitian, Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria, Direktur Jenderal Pajak akan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.

*Berdasarkan PMK 182 / 2007
Baca selengkapnya »
SPT Tahunan/e-SPT Tahunan dinyatakan tidak lengkap

SPT Tahunan/e-SPT Tahunan dinyatakan tidak lengkap


SPT Tahunan/e-SPT Tahunan dinyatakan tidak lengkap apabila:
1 SPT tidak ditandatangani
2 SPT tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yg disyaratkan
3 SPT LB disampaikan setelah 3 tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan WP telah ditegur secara tertulis
4 SPT disampaikan setelah dilakukan pemeriksaan atau diterbitkan skp
5 SPT dianggap tidak lengkap atau jelas
6 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau nama atau alamat Wajib Pajak tidak dicantumkan dalam SPT Induk dengan lengkap dan jelas
7 SPT Induk tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasanya
8 SPT Induk ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak tetapi tidak dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus atau SPT Orang Pribadi ditandatangani oleh Ahli Waris tetapi tidak dilampiri dengan Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang
9 Terdapat elemen SPT Induk yang diisi tidak lengkap
10 SPT Kurang Bayar tetapi tidak dilampiri dengan bukti pelunasan berupa SSP yang sesuai
11 SPT tidak atau kurang disertai dengan lampiran pada Formulir Baku Sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III.1. atau III.2. atau III.3. atau III.4 pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
12 SPT/e-SPT tidak atau kurang disertai dengan Lampiran Keterangan dan/atau Dokumen Yang Disyaratkan sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III.1 s.d. III.4 atau III.1.a s.d. III.4.a atau III.1.b s.d. III.4.b pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
13 Lampiran "Daftar Harta dan Kewajiban Pada Akhir Tahun" dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap
14 Lampiran "Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris" dalam SPT Tahunan PPh Badan dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap
15 Terdapat Lampiran Khusus sebagaimana ditetapkan pada Lampiran Lampiran III.1 s.d. III.4 atau III.1.a s.d. III.4.a atau III.1.b s.d. III.4.b pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang diisi tidak lengkap
16 e-SPT yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik, tetapi hanya menyampaikan SPT Induk hasil cetakan tanpa disertai media elektronik
17 e-SPT yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik, tetapi SPT Induk berdasarkan data digitalnya tidak sesuai dengan SPT Induk hasil cetakan yang disampaikan oleh Wajib Pajak
18 Loading atas e-SPT yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik tidak dapat di-load pada aplikasi Sistem Informasi Perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak
19 e-SPT yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik tetapi elemen-elemen data digitalnya tidak diisi atau diisi tetapi tidak lengkap
20 e-SPT yang data digitalnya disampaikan melalui e-filing tetapi elemenelemen data digitalnya tidak diisi atau diisi tetapi tidak lengkap
Baca selengkapnya »
Tata Cara Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak

Tata Cara Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak

*Berdasarkan Pasal 6 Per DJP Nomor 44 / 2008

1. Dalam hal Wajib Pajak terdaftar dan/atau PKP terdaftar pindah tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lain, Wajib Pajak dan/atau PKP wajib mengajukan surat permohonan pindah ke KPP Lama atau KPP Baru dengan mengisi Formulir Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah dan/atau Formulir Perubahan Data dan PKP Pindah.

2. Berdasarkan permohonan tersebut, maka:

a. KPP Lama wajib menerbitkan Surat Pindah untuk disampaikan kepada Wajib Pajak dan ditembuskan ke KPP Baru; atau

b. KPP Baru meneruskan permohonan pindah ke KPP Lama sebagai dasar penerbitan Surat Pindah, paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.

3. KPP Baru wajib menerbitkan Kartu NPWP dan SKT dan/atau SPPKP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya Surat Pindah dari KPP Lama dan ditembuskan ke KPP Lama.

4. KPP Lama menerbitkan Surat Pencabutan SKT, Surat Penghapusan NPWP, dan/atau Surat Pencabutan SPPKP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya tembusan Kartu NPWP dan SKT dan/atau SPPKP dari KPP Baru.

5. Dalam hal terjadi pemindahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, KPP Lama harus mengirim berkas Wajib Pajak dan/atau berkas PKP yang bersangkutan berikut uraian singkat mengenai hal-hal yang dianggap perlu kepada KPP Baru yang berisi, antara lain:

a. jumlah tunggakan pajak yang masih harus ditagih;

b. tindakan penagihan yang telah dilaksanakan atas tunggakan pajak;

c. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau keberatan Wajib Pajak atau PKP yang belum diselesaikan.


*Berdasarkan Pasal 6 Per DJP Nomor 44 / 2008

Baca selengkapnya »
Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Permohonan Pengukuhan PKP secara lengkap dan jelas.

2. Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi formulir permohonan antara lain sebagai berikut:

a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan pekerjaan bebas:

· Fotocopy KTP bagi penduduk Indonesia dan paspor bagi orang asing

· Surat pernyataan tempat tinggal/domisili yang bersangkutan bagi orang asing

b. Wajib pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas:

· Fotocopy KTP bagi penduduk Indonesia dan paspor bagi orang asing

· Surat pernyataan tempat tinggal/domisili yang bersangkutan bagi orang asing

· Surat pernyataan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

c. Wajib Pajak Badan

· Akte pendirian dan perubahan atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap

· NPWP Pimpinan/Penanggung Jawab Badan

· Fotocopy KTP bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing sebagai penanggung jawab

d. Bendahara sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong

· surat penunjukan sebagai Bendahara

· Fotocopy KTP Bendahara

e. Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong

· Perjanjian Kerjasama/Akte Pendirian sebagai Joint Operation

· Fotocopy KTP bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing sebagai penanggung jawab

· NPWP Pimpinan/Penanggung Jawab JO

3. Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta ditandatangani Wajib Pajak atau kuasanya kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.

4. Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS) yang telah di ditandatangani oleh petugas pendaftaran setelah Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP dilengkapi.

5. Jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran NPWP dan/atau permohonan pengukuhan PKP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.

6. Dalam hal Wajib Pajak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, kepada Wajib Pajak diberikan SKT dan/atau SPPKP dan Kartu NPWP.


*Berdasarkan Pasal 6 Per DJP Nomor 44 / 2008

Baca selengkapnya »
DPR Akan Hapus Sistem Remunerasi

DPR Akan Hapus Sistem Remunerasi

Kasus markus pajak oleh Gayus Tambunan merembet ke mana-mana. Sistem remunerasi yang selama ini diterapkan di instansi pemerintah diusulkan untuk dievaluasi, bahkan kalau perlu dihapus.
DESAKAN penghapusan remunerasi institusi pemerintah diungkapkan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Harry Azhar Azis. Alasannya, remunerasi tidak berdampak positif terhadap peningkatan kinerja dan pemberantasan korupsi."Kemungkinan dihilangkannya sistem remunerasi bisa saja terjadi. Ketidakpercayaan masyarakat, khususnya pada Direktorat Jenderal Pajak mulai muncul. Jika hal ini dianggap remeh oleh pemerintah, tidak tertutup kemungkinan sistem remunerasi akan ditinjau ulang, bahkan dicabut," kata Harry.
Politisi partai berlambang beringin ini mengatakan, saat ini DPR masih menunggu jawaban pemerintah terkait kasus markus pajak Gayus Tambunan. Jika pemerintah tidak bisa menjawab persoalan itu, remunerasi bisa ditinjau ulang, bahkan dihapus.Namun, lanjut dia, persoalannya bukan hanya mencabut atau tidaknya sistem remunerasi di kementerian dan instansi pemerintah. Mcnurut dia, hal yang terpenting adalah memperbaiki sistem dan pelaksanaan remunerasi.
"Selama ini, dalam remunerasi belum mengatur system punishment (sanksi) kepada pegawai atau PNS yang melakukan pelanggaran. Ke depan, itu harus diatur. Bila perlu, ada punishment yang mengatur pemotongan anggaran jika berjalan tidak seperti yang diharapkan," jelasnya.Sementara, anggota Komisi XI DPR, Muchtar Amma memiliki pandangan berbeda. Menurut dia, remunerasi merupakan hal bagus untuk meningkatkan kedisiplinan dan kualitas pegawai negeri sipil (PNS). Karenanya, kata dia, sistem ini harus tetap diberlakukan.
"Kalaupun masih ada oknum yang terlibat sebagai makelar kasus, maka pengawasannya yang perlu ditingkatkan. Pengawasan secara konstitusional, maupun pengawasan individual inilah yang akan meminimalisasi korupsi," kata Muchtar.Politisi Fraksi Partai Hanura ini menambahkan, selama ini dari sistem remunerasi yang berlaku belum banyak yang dilaksanakan oleh pemerintah. Karenanya, aturan-aturan yang tercantum dalam remunerasi perlu dipertegas kembali.
"Kalau peraturannya, sudah tidak banyak masalah. Semua aturannya sudah lengkap. Namun, pada tingkat pelaksanaannya masih banyak yang belum sesuai," sesalnya.Diketahui, remunerasi PNS adalah sistem tunjangan yang dikaitkan dengan sistem penilaian kerja, yang bertujuan memacu prestasi dan motivasi kerja PNS serta mencegah korupsi. Kementerian Keuangan menjadi salah satu kementerian yang melaksanakan 100 persen remunerasi, yang dimulai tahun 2007.

Sumber: http://bataviase.co.id/node/150342
Baca selengkapnya »
Resume PPh UU No. 36 Tahun 2008

Resume PPh UU No. 36 Tahun 2008

Resume PPh ini menjelaskan sebagian besar substnsi yang ada di dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008. Resume ini menjelaskan definisi penghasilan, subjek pajak, timbulnya kewajiban subjektif, objek pajak, pengenaan pajak final, pengecualian subjek&objek pajak, biaya-biaya, PTKP, hingga sedikit mengenai BUT(Bentuk Usaha Tetap).

Pengertian Pajak Penghasilan

Ø Subjek Pajak adalah orang atau badan yang menurut Undang-undang dikenakan pajak.

Ø Subjek Pajak dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan selama satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak.

Ø Yang dimaksud dengan “Tahun Pajak” adalah tahun kalender atau takwim, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12(dua belas) bulan.

Jenis-jenis Subjek Pajak

1. Subjek Pajak Orang Pribadi

a. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

b. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri

No.

Perbedaan

SPOPDN

SPOPLN

1.

Berada

di Indonesia

Bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan

Tidak bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan

2.

Penghasilan yang dikenakan pajak

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di Indonesia

3.

Tarif pajak

Berdasarkan penghasilan neto dengan tariff umum (Tarif Umum PPh Pasal 17)

Berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadaan (Tarif PPh Pasal 26 atau sesuai Tax Treaty)

4.

Penyampaian SPT

Wajib menyampaikan SPT PPh, untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak

Tidak wajib menyampaikan SPT PPh, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final (PPh Pasal 26)

2. Subjek Pajak Warisan

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak

Ø Subjek Pajak warisan dapat menggantikan pemenuhan kewajiban pajak dan penunjukkan yang mewariskan (Almarhum).

Ø Apabila warisan telan terbagi kepada ahli waris, maka kewajiban pajak Almarhum harus diselesaikan oleh ahli warisnya tersebut.

3. Subjek Pajak Badan

Ø Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Ø Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.

4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Ø Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

1. Tempat kedudukan manajemen

2. Cabang perusahaan

3. Kantor perwakilan

4. Gedung kantor

5. Pabrik

6. Bengkel

7. Gudang

8. Ruang untuk promosi dan penjualan

9. Pertambangan dan penggalian sumber alam

10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi

11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan

12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan

13. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan

14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas

15. Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia

16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet

Timbulnya Kewajiban Pajak Subjektif Dalam Negeri

1. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dalam negeri yang bertempat tinggal di Indonesia terutama orang asli dimulai pada saat ia dilahirkan di Indonesia.

Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia.

Kewajiban subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

2. Kewajiban pajak subjektif badan, dimulai saat badan tersebut didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak berkedudukan di Indonesia.

3. Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi, dimulai saat timbulnya warisan yang belum terbagi dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai terbagi. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakan (Almarhum) beralih kepada para ahli waris.

Timbulnya Kewajiban Pajak Subjektif Luar Negeri

Ø Kewajiban pajak subjektif Orang Pribadi (SPOPLN) atau Badan (Luar Negeri) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Kewajiban Pajak Subjektif Dalam Bagian Tahun Pajak

Ø Orang pribadi menjadi subjek pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh. Misalnya orang pribadi yang mulai menjadi subjek pajak pada pertengahan tahun pajak atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan satu tahun pajak.

Pengecualian Subjek Pajak

Ø Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah

4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara

Ø Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2008 adalah:

1. Kantor perwakilan negara asing

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik

3. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:

a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada angka 3, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Ø Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan

Ø Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.

Ø Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Orang pribadi berdasarkan Kartu Tanda Penduduk sedangkan badan sesuai dengan akta pendiriannya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.

Ø Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.

Objek Pajak Penghasilan

Ø Objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Ø Yang termasuk objek pajak penghasilan:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan

3. Laba usaha

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal

b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun

d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan

e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang

7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

· Termasuk dalam pengertian dividen adalah:

a. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun

b. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor

c. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham

d. pembagian laba dalam bentuk saham

e. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran

f. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan

g. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah

h. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut

i. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi

j. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis

k. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi

l. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak

· Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:

a. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya

b. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah

c. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial

d. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruuf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c, berupa:

1) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melaluisatelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa

2) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa

3) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spectrum radio komunikasi

e. penggunaan atau hak menggunakan film gambarhidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio

f. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

· Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.

12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva

14. Premi asuransi

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah

18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan

19. Surplus Bank Indonesia

Pengenaan Pajak Final

Ø Prinsip pemajakan dalam UU PPh adalah unitary(global) taxation, maksudnya bahwa semua penghasilan dari berbagai kategori dan sumber dikonsolidasikan menjadi satu kesatuan (unitary) basis pemajakan. Namun disadari bahwa kultur, dan kondisi social, ekonomi, dan politik masyarakat belum mendukung pelaksanaan system ideal tersebut. Oleh karena itu dibentuklah system pemajakan yang sederhana yaitu system potongan pajak final dengan tarif sepadan.

Ø Pengenaan pajak dilakukan dengan pemotongan (with holding) pada sumbernya, berdasarkan penghasilan bruto (gross base), dengan tariff sepadan dan bersifat final. Gross base artinya pajak dihitung berdasarkan penerimaan bruto tanpa memperhatikan biaya dan keadaan diri pembayar pajak. Tarif sepadan dimaksudkan untuk mengimplementasikan prinsip pengenaan pajak sama rata kepada semua wajib pajak. Sedangkan final (rampung) bertujuan untuk menyederhanakan pengenaan pajak dengan memperlakukan pembayaran pajak tersebut sebagai pelunasan rampung kewajiban pajak atas objek pajak tersebut tidak ada kewajiban tambahan lainnya lagi.

Ø Penghasilan yang telah dikenakan pajak final tidak lagi digabungkan dengan penghasilan lainnya dan pajaknya tidak merupakan kredit pajak. Baik penghasilan maupun pajaknya tidak perlu lagi dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Ø Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

Penghasilan

Batas

Tarif

Dasar Hukum

Bunga dari deposito & tabungan serta diskonto SBI

Rp7.500.000

20%

PP No. 131/2000

Surat Utang Negara

-

20%

PP No. 27/2008

Bunga Simpanan Koperasi

Rp240.000

10%

PP No. 15/2009

Penghasilan

Tarif

Keterangan

Dasar Hukum

Bunga dari Obligasi dengan kupon

15%

WPDN dan BUT

PP No. 16/2009

20%

Sesuai dengan tarif P3B bagi WPLN selain BUT

(dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi)

Diskonto dari Obligasi dengan kupon

15%

WPDN dan BUT

20%

Sesuai dengan tarif P3B bagi WPLN selain BUT

(dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan)

Diskonto dari Obligasi tanpa bunga

15%

WPDN dan BUT

20%

Sesuai dengan tarif P3B bagi WPLN selain BUT

(dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi)

Bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh WP reksadana yang terdaftar pada BPPM dan LK

0%

Tahun 2009 s.d. 2010

5%

Tahun 2011 s.d. 2013

15%

Tahun 2014 dan seterusnya

2. Penghasilan berupa hadiah undian.

(Tarif 25% dari jumlah bruto hadiah undian, berdasarkan PP No. 132/2000)

3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.

Penghasilan

Tarif

Dasar Hukum

Transaksi Penjualan Saham

0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan

PP No. 17/2009

Penjualan saham pendiri,

(kecuali saham pendiri perusahaan pasangan usaha yang dimiliki oleh perusahaan modal ventura)

ditambah dengan 5% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan

PP No. 17/2009

Transaksi Derivatif

2,5% dari margin awal

PP No. 17/2009

Penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yg diterima oleh perusahaan modal ventura

0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal

PP No. 4/1995

4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.

Penghasilan

Tarif*

Dasar Hukum

Pengalihan Hak atas tanah dan/atau bangunan

5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

PP No. 71/2008

Pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana

1% dari jumlah bruto nilai pengalihan

PP No. 71/2008

*Diberikan kepada orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan dengan jumlah bruto nilai pengalihannya ≥ Rp60.000.000,-

Penghasilan

Tarif

Dasar Hukum

Persewaan tanah dan/atau bangunan

10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan

PP No. 5/2002

Usaha Jasa Konstruksi (Berdasarkan PP No. 51/2008)

Perencanaan*

Pelaksanaan*

Pengawasan*

Usaha Kecil

4%

2%

4%

Usaha Menengah/Besar

4%

3%

4%

Non Kualifikasi

6%

4%

6%

*Dari nilai kontrak jasanya

5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pengecualian Objek Pajak

Ø Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

1.a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan

2. Warisan

3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal

4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)

5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa

6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan

b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor

7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai

8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif

10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia

11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK

12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK

13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK

Biaya-biaya yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto

Ø Biata-biaya yang dapat dikurangkan harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

a. Valid, harus ada bukti yang memadai dari biaya-biaya yang dikeluarkan

b. Reliable, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya

c. Wajar, sesuai dengan kelogisan

Ø Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:

1. Biaya pembelian bahan

2. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang

3. Bunga, sewa, dan royalti

4. Biaya perjalanan

5. Biaya pengolahan limbah

6. Premi asuransi

7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

8. Biaya administrasi

9. Pajak kecuali Pajak Penghasilan

b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun

c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan

d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

e. Kerugian selisih kurs mata uang asing

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;

g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan

h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial

2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak

3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu

4. Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

Kompensasi Kerugian

Ø Kerugian dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Ø Contoh :

PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :

2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00

2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)

2012 : laba fiskal Rp N I H I L

2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00

2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :

Rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.200.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)

Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000,00)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000,00 (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000,00 (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 100.000.000,00)

Ø Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.

Penyusutan

Ø Bangunan disusutkan dengan menggunakan Metode Garis Lurus. Sedangkan selain/bukan bangunan boleh menggunakan Metode Garis Lurus atau Metode Saldo Menurun.

Ø Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan.

Ø Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuuh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.

Ø Masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok Harta

Berwujud

Masa

Manfaat

Tarif Penyusutan

berdasarkan Metode

Garis

Lurus

Saldo

Menurun

I. Bukan bangunan

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

II. Bangunan

Permanen

Tidak Permanen

4 tahun

8 tahun

16 tahun

20 tahun

20 tahun

10 tahun

25%

12,5%

6,25% 5%

5%

10%

50% 25%

12,5%

10%

Rumus Cepat:

M (1 - i) n – 1 = Nilai Sisa Buku Awal Tahun n

Dengan M= Harga Perolehan

i = Persentase

n = Jumlah Tahun

NB: Digunakan untuk perhitungan 1(satu) tahun penuh

Ø Contoh penggunaan metode garis lurus:

Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).

Ø Contoh penggunaan metode saldo menurun:

Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.

Tahun

Tarif

Penyusutan

Nilai Sisa Buku

Harga Perolehan 150.000.000,00

2009

50%

75.000.000,00

75.000.000,00

2010

50%

37.500.000,00

37.500.000,00

2011

50%

18.750.000,00

18.750.000,00

2012

Disusutkan sekaligus

18.750.000,00

0

NB: - Sebelum Tahun 2001, penyusutan dihitung dari tahun perolehan aktiva

- Setelah Tahun 2001, penyusutan dihitung dari bulan perolehan aktiva

- Jika ada penjualan, bulan penjualan tidak dihitung penyusutannya

Amortisasi

Ø Amortisasi diberikan kepada harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.

Ø Masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok Harta

Tak Berwujud

Masa Manfaat

Tarif Amortisasi berdasarkan

Metode

Garis

Lurus

Saldo

Menurun

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

4 tahun

8 tahun

16 tahun

20 tahun

25%

12,5%

6,25%

5%

50%

25%

12,5%

10%

Ø Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan di atas.

Ø Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.

Ø Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.

Ø Contoh:

Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 ton yang berarti 30% dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00.

Penghasilan Tidak Kena Pajak

Ø Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:

Status

PTKP

Diri WPOP

Rp15.840.000,00

Tambahan WP kawin

Rp1.320.000,00

Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami

Rp15.840.000,00

Tanggungan (paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga)

Rp1.320.000,00

Ø Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.

Ø Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

Ø Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:

a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan

b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

Ø Contoh (1):

Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00.

Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.

Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00, seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00).

Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Ø Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami-isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.

Ø Contoh (2):

Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.

Dari contoh (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00.

Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp27.550.000,00 maka untuk masing-masingsuami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:

· Suami: 100.000.000,00 x Rp27.550.000,00= Rp11.020.000,00

250.000.000,00

· Isteri : 150.000.000,00 x Rp27.550.000,00 = Rp16.530.000,00

250.000.000,00

Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan

Ø Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota

c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang

2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan

4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan

5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan

6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan

g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali sumbangan serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

h. Pajak Penghasilan kecuali PPh 21 yang menjadi tunjangan dan PPh 26 yang telah di gross up terlebih dahulu

i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya

j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan

Objek Pajak BUT

Ø Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :

a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai

b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia

c. PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud

Ø Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c diatas boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap

Ø Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :

a. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

b. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah :

1. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya

2. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya

3. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan

c. Pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan


Baca selengkapnya »