Sewa Guna Usaha(Leasing) dalam Pajak Penghasilan
By
Pada masa sekarang ini, perekonomian semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya jumlah permintaan barang dan/ atau jasa dari konsumen. Seperti dalam hukum permintaan, yakni semakin meningkat suatu harga barang dan/ atau jasa, semakin rendah permintaan, sedangkan apabila semakin rendah harga barang dan/ atau jasa semakin tinggi permintaan, ceteris paribus. Berdaasarkan hukum permintaan ini secara tidak langsung setiap produsen harus berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan produktifitasnya dengan cara mengefisienkan proses produksi. Dengan semakin efisiennya proses produksi, maka perusahaan akan mampu menekan biaya yang harus dikeluarkan, baik dalam harga pokok produksi maupun biaya usaha lainnya. Apalagi berkaitan dengan barang modal yang diklasifikasikan sebagai aktiva tetap (fixed assets). Setiap pertambahan proses produksi maka AFC(Average Fixed Cost) jumlahnya selalu tetap, kecuali ada pertambahan produksi sangat besar. Sayang sekali apabila barang modal tersebut tidak dimaksimalkan untuk proses produksi yang sebenarnya mampu diproduksi atau dicapai oleh suatu perusahaan.
Kendala yang sering dihadapi oleh perusahaan adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh barang modal tersebut. Begitu juga dengan perusahaan lain yang bergerak di sektor usaha lainnya. Misalkan sebuah perusahaan taksi, untuk mulai beroperasi perusahaan tersebut pastinya harus menyiapkan armada taksinya yang relatif banyak untuk meningkatkan usahanya. Namun kita tahu sendiri bahwa jenis mobil taksi yang ada di Indonesia adalah jenis sedan yang harganya tidak murah. Begitu juga dengan perusahaan yang memberikan fasilitas antar jemput karyawan yang harus selalu siap sedia untuk menunjang kegiatan usahanya. Hampir semua perusahaan terkendala dengan masalah dana dalam peoses bisnis usahanya.
Lembaga keuangan baik bank maupun non bank memberikan solusi dari permasalahan di atas, yakni dengan cara pembiayaan. Mereka menawarkan produk yang disebut sewa guna usaha. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa perusahaan yang sedang membutuhkan barang modal akan meminta pihak bank untuk memberikan jasa sewa guna usaha kepada perusahaan, dan kemudian dalam jangka waaktu tertentu perusahaan akan membayarkan uang sewa atas hak sewa guna usaha tersebut. Lain lagi misalnya dalam perjanjian terdapat ketentuan tentang hak opsi (yang sering disebut sewa guna usaha dengan hak opsi), pihak perusahaan memiliki hak untuk membeli barang yang di sewa guna usahakan apabila telah melewati jangka waktu tertentu.
Sewa Guna Usaha dalam KMK Nomor 1169/KMK.01/1991
1. Pengertian
Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala
2. Pembagian SGU
a. Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :
1) jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
2) masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;
3) perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
b. Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :
1) jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
2) perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
3. Aspek PPh SGU dengan hak opsi
a. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :
1) penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;
2) lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;
3) dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;
4) lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
5) kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan;
6) dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.
7) Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
b. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
1) selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;
2) setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;
3) pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 Keputusan ini;
4) dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-usaha
5) Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
Tambahan dalam SE-29 /PJ.42/ 1992
6) Dasar penyusutan yang dipakai setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan.
7) Jumlah angsuran SGU dengan hak opsi (pokok dan bunga) yang dibayarkan atau terutang pada tahun buku yang bersangkutan dapat dikurangkan (dijadikan biaya atau sebagai pengurang penghasilan bruto), kecuali tanah.
Hal tersebut berbeda dengan PSAK 30, yang merupakan beban atas SGU dengan hak opsiterdiri dari penyusutan aktiva tetap SGU dan bunga SGU.
Contoh:
Pada tahun 2006 PT ABC memperoleh mesin (kelompok 2) dengan cara SGU dengan hak opsi. Penyusutan mesin pada tahun 2006 sebesar Rp100.000.000 dan bunga SGU sebesar Rp50.000.000 serta jumlah angsuran sebesar Rp240.000.000.
Penyusutan mesin SGU sebesar Rp100.000.000 dan bunga SGU sebesar Rp50.000.000 dilakukan penyesuaian fiskal positif, sedangkan jumlah pembayaran atau yang terutang sebesar Rp240.000.000 dilakukan penyesuaian fiskal negatif.
Lessor merupakan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP), oleh karena itu atas tagihannya tidak terutang PPN. Bagi Lesee yang membayar angsuran tidak memotong PPh pasal 23 atau PPh pasal 4 ayat (2) UU PPh.
4. Aspek PPh SGU tanpa hak opsi
a. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :
1) seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan.
2) lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 beserta peraturan pelaksanaannya.
b. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
1) pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
2) lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor
3) Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor kepada lessee, terhutang Pajak Pertambahan Nilai.
5. Angsuran PPh pasal 25
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk setiap bulan yang terutang oleh lessor adalah jumlah Pajak Penghasilan sebagai hasil penerapan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984 terhadap Penghasilan Kena Pajak berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 Keputusan ini disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
6. Pelaporan
a. Lessor wajib menyampaikan laporan keuangan triwulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Moneter
b. Laporan keuangan triwulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir
c. Lessor wajib menyampaikan laporan operasional secara semesteran berdasarkan tahun takwim kepada Direktorat Jenderal Moneter
d. Bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini dan tata cara penyampaiannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Moneter
e. Setiap perubahan anggaran dasar, pemegang saham, pengurus, tenaga ahli, dan alamat kantor wajib dilaporkan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah perubahan dilaksanakan.
Dengan adanya aturan ini memang akan terlihat sekali perbedaan antara perlakuan sewa guna usaha dalam komersial dan fiskal. Dalam aturan komersial penyusutan dan bunga atas barang SGU diperbolehkan. Namun di dalam aturan secara fiskal, logika yang dipakai adalah barang yang disewa guna usahakan (masih dalam masa SGU) belum menjadi aktiva perusahaan karena hak opsi atas barang SGU tersebut belum digunakan, sehingga perusahaan tidak berhak untuk melakukan penyusutan atas barang yang belum menjadi miliknya. Untuk memberikan keadilan maka aturan secara fiskal hanya memperbolehkan perusahaan untuk menjadikan angsuran yang dalam hal ini terdiri dari pokok SGU dan bunga SGU kepada pihak LKBB sebagai biaya yang dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto, yang nantinya dasar penyusutan yang dipakai setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan.
terimakasih untuk artikelnya Gan sangat membantu sekali..
BalasHapus